EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
Oleh: Suud Fuadi
Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir perkembangan bisnis dengan latar belakang
agama, yaitu Islam kian marak dan menjamur. Meski baru sebatas dibidang
perbankan, asuransi, micro finance, hotel (baru ada satu), pendidikan,
kesemuanya merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Perkembangan
tersebut bahkan mendorong seorang Hermawan Kartajaya dan M. Syakir
menerbitkan sebuah buku berjudul Syariah Marketing. Hingga saat ini kita
sudah tidak asing lagi dengan istilah Bank Syariah sebagaimana yang
pertama kali dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Syariah,
TK-SD Islam Terpadu, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan kalau
kemudian M. Syafi’i Antonio mengatakan “Spiritual is the Soul of Advance
and Integrated Marketing”.
Seiring dengan kesadaran masyarakat
Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim—terhadap keharusan
menggunakan dan memanfaatkan produk (barang maupun jasa) yang halal dan
barokah, maka peran produsen atau perusahaan-perusahaan berbasis syariah
menjadi sebuah alternative masa depan yang sangat menjanjikan.
Barangkali ini dianggap terlalu optimis. Tapi itulah trend yang sekarang
sedang menuju ke arah sana.
Jika melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga
lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait,
Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal
cukup jauh. Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang
berpikir untuk membuka unit-unit usaha syariah.
Satu sisi tentang perkembangan itu kita semua patut bersyukur. Namun
pada sisi yang lain, kita juga patut waspada. Mengapa? Karena bukan
tidak mungkin berbagai variasi produk syariah yang bermunculan saat ini
ternyata tidak lebih dari sekedar ‘berganti nama’. Secara paradigmatic
sebuah perusahaan bisa saja tetap berpijak pada konsep bisnis
sekuler-kapitalistik, tapi di poles dengan polesan syariah atau tepatnya
etika Islami, seperti : jujur, amanah dan sejenisnya. Al hasil, yang
penting bagi perusahaan itu mendapatkan market share yang menguntungkan
di pasar syariah.
Religion brand sebagaimana produk syariah kini, meski mungkin pangsa
pasarnya lebih spesifik dan sangat segmented, sangat mungkin dalam waktu
dekat akan menjadi produk yang banyak dibutuhkan oleh semua orang,
bukan saja umat Islam. Inilah tantangan kita, khususnya bagi pengusaha
muslim untuk membangun peradaban bisnis yang syar’iy. Bukan saja sekedar
polesan, tapi juga asas, konsep, manusia, implementasi dan hasil yang
benar-benar menampilkan sosok bisnis berbasis syariah yang utuh, unik
dan barokah.
Dalam konteks perkuliahan lembaga keuangan syariah, judul makalah ini
sebenarnya merupakan titik temu dari materi sebelumnya. Karena bisnis
syariah sejatinya berupa perbankan syari’ah, asuransi syariah, pegadaian
syariah pasar modal syariah, penjaminan syariah, hotel syariah dan
lainnya (lembaga keuangan dan bukan keuangan). Nah, bagaimana bisnis
syariah ini dijalankan dan bagaimana perkembangannya di Indonesia, akan
dibahas dalam makalah ini.
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid
al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang
secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah
Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik
menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun
muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri,
Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal
bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat
oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial
(ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan
non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu pada
pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi
pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang
penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah
Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan
terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan
dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
PRINSIP DASAR DAN ETIKA DALAM BISNIS SYARI’AH
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti
diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan),
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will),
dan Tanggung Jawab (Responsibility).[1]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku
Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik
mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala
aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah
mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan
yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni
manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang
beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak
bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan
prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi.
Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab
manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga
tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup
tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu
sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya
diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa
hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain
sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam.
Sebagai yang kelima adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar
dikenal dengan Ihsan.[2] Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan
hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan. Kelima prinsip
tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika bisnis
yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Etika bisnis syari’ah[3]
Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup
manusia (a code or set of principles which people live). Berbeda dengan
moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa
sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada
pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu
itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan
antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya,
moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan
bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian
yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari
kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan
penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar
prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah
etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom
klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan
etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan
hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan
efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan
karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini
dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan
orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih
mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen
internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang
manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua,
cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran
dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder
perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di
Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan,
keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal
dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan
dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada
keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti
sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat
atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain.
Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan
mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini,
apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau
malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis
yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah
seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan
nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan
dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang
tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba
(tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka
panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih
keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih
keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika
–dalam hal ini etika bisnis syariah-.
CIRI KHAS BISNIS SYARI’AH
Bisnis syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at
Allah. Sebenarnya bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis
pada umumnya, yaitu upaya memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna
memenuhi kebutuhan konsumen. Namun aspek syariah inilah yang
membedakannya dengan bisnis pada umumnya. Sehingga bisnis syariah selain
mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah
Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis syariah dan
yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter
dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Beberapa
cirri itu antara lain:
1. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah
adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan
(makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan
di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai
ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem
yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta
(tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah.
Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya
(tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya
dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi,
sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat.
Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang
lebih tinggi lagi.
AKAD DALAM BISNIS SYARIAH
Dalam setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat
penting. Akad ibaratnya sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya
terpisah antara yang sah dan tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian
itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada
bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut
istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain
dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian umum,
yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi
orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan
sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang
diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan
sejenisnya, disebut sebagai akad.
Rukun-Rukun Akad/Perjanjian
Akad memiliki tiga rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang
saling terikat dengan akad, adanya sesuatu yang diikat dengan akad,
serta pengucapan akad/perjanjian tersebut.[5]
1. Dua Pihak atau lebih yang Saling Terikat Dengan Akad
Dua orang atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang
atau lebih yang secara langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah
pihak dipersyaratkan harus memiliki kemam-puan yang cukup untuk
mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut
dianggap sah.
Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal berikut:
Pertama: Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila
pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan
tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total,
tidak sah melakukan perjanjian.
Kedua: Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan,
kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh
pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk
menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila
tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti
khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak
pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
2. Sesuatu yang Diikat Dengan Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang
disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada
beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai
berikut:
- Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
- Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. (Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan) Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
- Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga, dan itu dilarang.
- Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
- Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan ha-rus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم
KERJASAMA (SYIRKAH) DALAM BISNIS SYARI’AH
Bisnis syari’ah sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas
kerjasama berbagai pihak dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama
dalam bisnis syari’ah tidak hanya dibangun atas dasar keuntungan dan
pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun juga dibangun atas dasar
keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui implementasi
prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah
dalam bahasa Arab secara terminologis berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi), yasyraku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan
(mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya
boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut
Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dibaca syirkah
lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara etimologis, syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat
lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7] Adapun menurut
makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih,
yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
Hukum Dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw
berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau
diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan
cara bersyirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda,
sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari
dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR.
Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Rukun syirkah yang pokok ada 3, yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut
juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus
memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
(3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud ‘alayhi, yang mencakup
pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).[8] Adapun syarat sah akad ada 2,
yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan
harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek
akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak
bersama di antara para syarik (mitra usaha).[9]
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum
syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam:
yaitu: (1) syirkah inan; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudharabah; (4)
syirkah wujuh; dan (5) syirkah mufawadhah.[10] An-Nabhani berpendapat
bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang
memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama
Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah
inan, abdan, mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah
hanya tiga macam, yaitu: syirkah inan, abdan, dan mudharabah. Menurut
ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inan
dan mudharabah.[11]
Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah
ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh
syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat
menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan
keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud);
sedangkan barang (‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya
(qimah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika,
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung
kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab
Al-Jami’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”[12]
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik
(seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan,
dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A
dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari
ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya
akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar
40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian,
tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri
dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh
berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi
hutan. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan;
nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra
usaha (syarik). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil
as-Sunnah.[13]
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar
bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar
tidak membawa apa pun.” Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau. (HR. Abu Dawud dan al-Atsram).
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan
pihak lain memberikan konstribusi modal (mal). Istilah mudharabah
dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.
Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal / rabb al-mal) memberikan
modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola
modal (‘amil/ mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko
kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua
pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal,
sementara pihak ketiga (sebut saja C) memberikan konstribusi kerja saja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan
kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan
konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudharabah.[14]
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil
as-Sunnah (taqrir Nabi Saw) dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal
dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal.
Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara
seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang
diwakilkan kepadany.[15] Namun demikian, pengelola turut menanggung
kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.[16]
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah
wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua
pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi
modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini menurut An Nabhani termasuk dalam syirkah mudharabah
sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya.
Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari
masing-masing pihak. Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujuh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga
pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki;
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Menurut An Nabhani Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah ‘abdan.[17]
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk
pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua
termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri
telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam.
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang
dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah
maliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu,
tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang
menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka
menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujuh
yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang
dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah maliyah) yang
tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan,
mudharabah, dan wujuh).[18] Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini,
menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung
oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inan), atau
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua
insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi
modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu
ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan
konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C,
berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudharabah. Di sini A
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping
konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C.
Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C.
Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
LEMBAGA BISNIS SYARIAH
Secara umum lembaga bisnis syariah masih sebatas pada lembaga
keuangan. Namun kini lembaga bisnis syariah sudah mencakup pada
perhotelan dan usaha sector riil. Lembaga bisnis dapat dikategorikan
dalam lembaga bisnis syariah apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memproduksi barang yang halal
2. Tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan syariat
3. Mendapatkan modal (kerjasama) dengan cara-cara yang sah menurut Islam.
4. Terdapat pengawas syariah pada perusahaan tersebut.
2. Tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan syariat
3. Mendapatkan modal (kerjasama) dengan cara-cara yang sah menurut Islam.
4. Terdapat pengawas syariah pada perusahaan tersebut.
Berdasarkan data dari Dewan Syariah Nasional, hingga 08 Mei 2008
telah terdapat 10 lembaga pembiayaan syariah, 1 lembaga pegadaian
syariah, 2 DPLK Syariah, 4 usaha syariah, 1 modal ventura syariah, dan 1
lembaga penjamin syariah.[19]
- Pembiayaan Syariah
- PT Federal Internasional Finance
- PT Semesta Citra Dana
- PT Mandala Multifinance, Tbk
- PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk
- PT Fortuna Multi Finance
- PT Trust Finance Indonesia, Tbk
- PT Capitalinc Finance
- PT Al-Ijarah Indonesia Finance
- PT Trimamas Finance
- Pegadaian Syariah
- Perum Pegadaian Syariah
- DPLK Syariah
- DPLK Manulife Indonesia
- DPLK Muamalat
- Bisnis Syariah
- PT Sofyan Hotels
- PT Ahad-Net Internasional
- PT Usahajaya Ficooprasional
- PT Exer Indonesia
- Modal Ventura Syariah
- PT Bahana Artha Ventura
Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan
Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan
tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada
pemegang saham perusahaan.
- Lembaga Penjaminan Syariah
- Perum Sarana Pengembangan Usaha
Jika dilihat dari data MUI di atas, terlihat masih sangat minim
pengembangan usaha bisnis syariah kea rah sector riil. Lembaga-lembaga
ekonomi syariah masih dimonopoli oleh lembaga keuangan syariah. Hal ini
tidak terlepas dari dua factor; factor sejarah munculnya ekonomi syariah
dan ketersediaan peraturan. Dari factor kesejarahan, memang sejak awal
lahirnya ekonomi islam lebih diarahkan untuk memberikan alternative bagi
sector lembaga pendanaan dan keuangan. Sehingga hal ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya bagi sector usha lainnya
dalam ekonomi islam seperti bisnis syariah.
Kedua karena factor belum tersedianya peraturan yang berkenaan dengan
usaha bisnis syariah. Bahkan yang berkenaan dengan pegadaian hanya
diatur melalui fatwa MUI. Kendala-kendala ini menyebabkan kurang
bergairahnya sector usaha bisnis syariah jika dibandingkan dengan
lembaga keuangan syari’ah seperti Bank. Yang bahkan untuk perbankan
telah tersedia satu direktorat dalam BI tentang bank syariah dan
perangkat undang-undang lainnya.
Demikian pembahasan dalam makalah ini, yang lebih penting dari ini semua adalah, sejauah mana kesiapan kita untuk membut semakin banyak lagi usaha bisnis syariah. Dan tidak hanya mampu merancang usaha bisnis syariah, namun juga mampu menjalankan usaha syariah khususnya pada sector riil yang memproduksi baranga dan jasa.
Daftar Pustaka
Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994.
Beekun, Rafik Isa, Islamic Business Ethics, Virginia: international institute of Islamic thought, 1997
M. Ridwan, Berbisnis dengan Etika Syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/ 2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
Laspriana, Bey, Bisnis Syari’ah antara Realita dan Idealita, http://wirausaha.com diakses tanggal 01 juni 2008.
Al-Mushlih, Abdullah & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha, http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html, diakses 15 mei 2008.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr, 1996.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah, 1990.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr, 1984.
Al-Khayyath, Abdul Aziz, Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, 1982.
Http://Www.Mui.Or.Id/Mui_In/Product_2/Lks_Lbs.Php?Id=69. diakses 1 juni 2008.
[1] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994, hal 44-45
[2] Rafik Isa Beekun, , Islamic business ethics, Virginia: international institute of Islamic thought, 1997.
[3] M. Ridwan, berbisnis dengan etika syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
[4] Bey Laspriana, bisnis syari’ah antara realita dan idealita, http://wirausaha.com diakses tanggal 01 juni 2008.
[5] Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha, http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html, diakses 15 mei 2008.
[6] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr, 1996. Hal 58.
[7] Taqiyuddin An-Nabhani,. An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah, 1990 Hal. 146
[8] Al Jaziri, 69.
[9] An Nabhani, 146.
[10] An Nabhani, 148.
[11] Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr, 1984. hal 479.
[12] An Nabhani, 151
[13] An Nabhani, 151.
[14] An Nabhani, 152.
[15] An Nabhani, 152.
[16] Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, hal 66.
[17] An Nabhani, 154.
[18] An Nabhani, 156.
[19] http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=69. diakses 1 juni 2008.
Sumber Artikel: Suud Fuadi, Ekonomi dan Bisnis Syariah, (http://suud83.wordpress.com/2008/06/14/bisnis-syariah/)