EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
Oleh: Suud Fuadi
Pendahuluan  
     Dalam lima tahun terakhir perkembangan bisnis dengan latar belakang 
agama, yaitu Islam kian marak dan menjamur. Meski baru sebatas dibidang 
perbankan, asuransi, micro finance, hotel (baru ada satu), pendidikan, 
kesemuanya merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Perkembangan
 tersebut bahkan mendorong seorang Hermawan Kartajaya dan M. Syakir 
menerbitkan sebuah buku berjudul Syariah Marketing. Hingga saat ini kita
 sudah tidak asing lagi dengan istilah Bank Syariah sebagaimana yang 
pertama kali dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Syariah, 
TK-SD Islam Terpadu, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan kalau 
kemudian M. Syafi’i Antonio mengatakan “Spiritual is the Soul of Advance
 and Integrated Marketing”.
Seiring dengan kesadaran masyarakat 
Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim—terhadap keharusan 
menggunakan dan memanfaatkan produk (barang maupun jasa) yang halal dan 
barokah, maka peran produsen atau perusahaan-perusahaan berbasis syariah
 menjadi sebuah alternative masa depan yang sangat menjanjikan. 
Barangkali ini dianggap terlalu optimis. Tapi itulah trend yang sekarang
 sedang menuju ke arah sana.
    Jika melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga 
lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait, 
Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal 
cukup jauh. Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang 
berpikir untuk membuka unit-unit usaha syariah.
     Satu sisi tentang perkembangan itu kita semua patut bersyukur. Namun 
pada sisi yang lain, kita juga patut waspada. Mengapa? Karena bukan 
tidak mungkin berbagai variasi produk syariah yang bermunculan saat ini 
ternyata tidak lebih dari sekedar ‘berganti nama’. Secara paradigmatic 
sebuah perusahaan bisa saja tetap berpijak pada konsep bisnis 
sekuler-kapitalistik, tapi di poles dengan polesan syariah atau tepatnya
 etika Islami, seperti : jujur, amanah dan sejenisnya. Al hasil, yang 
penting bagi perusahaan itu mendapatkan market share yang menguntungkan 
di pasar syariah.
Religion brand sebagaimana produk syariah kini, meski mungkin pangsa 
pasarnya lebih spesifik dan sangat segmented, sangat mungkin dalam waktu
 dekat akan menjadi produk yang banyak dibutuhkan oleh semua orang, 
bukan saja umat Islam. Inilah tantangan kita, khususnya bagi pengusaha 
muslim untuk membangun peradaban bisnis yang syar’iy. Bukan saja sekedar
 polesan, tapi juga asas, konsep, manusia, implementasi dan hasil yang 
benar-benar menampilkan sosok bisnis berbasis syariah yang utuh, unik 
dan barokah.
Dalam konteks perkuliahan lembaga keuangan syariah, judul makalah ini
 sebenarnya merupakan titik temu dari materi sebelumnya. Karena bisnis 
syariah sejatinya berupa perbankan syari’ah, asuransi syariah, pegadaian
 syariah pasar modal syariah, penjaminan syariah, hotel syariah dan 
lainnya (lembaga keuangan dan bukan keuangan). Nah, bagaimana bisnis 
syariah ini dijalankan dan bagaimana perkembangannya di Indonesia, akan 
dibahas dalam makalah ini.
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
     Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid
 al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang 
secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah
 Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik 
menyangkut masalah  ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun 
muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna 
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, 
Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal 
bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat 
oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial 
(ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan 
non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu pada 
pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi 
pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang 
penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah 
Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan 
terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan 
dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
PRINSIP DASAR DAN ETIKA DALAM BISNIS SYARI’AH
     Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti 
diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), 
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will),
 dan Tanggung Jawab (Responsibility).[1]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku 
Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu 
yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik 
mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala 
aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah 
mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan
 yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang 
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni 
manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang 
beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak 
bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan 
prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. 
Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan  
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab 
manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga 
tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup 
tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu 
sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya 
diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa 
hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain
 sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. 
Sebagai yang kelima adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar
 dikenal dengan Ihsan.[2] Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan
 hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan. Kelima prinsip
 tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika bisnis 
yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Etika bisnis syari’ah[3]
     Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup 
manusia (a code or set of principles  which people live). Berbeda dengan
 moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa 
sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada 
pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu 
itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan 
antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya, 
moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan 
bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi 
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian 
yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari 
kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan 
penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar 
prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah
 etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom 
klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan 
etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan 
hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan 
efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan 
karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini 
dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan 
orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih 
mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
 Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen 
internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang
 manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, 
cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran 
dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk 
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder 
perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di
 Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa  nilai ketulusan, 
keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal 
dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan 
dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada
 keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti 
sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak 
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat
 atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. 
Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan 
mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, 
apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau 
malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis
 yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah 
seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan 
nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan 
dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang 
tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba 
(tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka
 panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih 
keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih 
keuntungan jangka panjang  dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika 
–dalam hal ini etika bisnis syariah-.
CIRI KHAS BISNIS SYARI’AH 
     Bisnis syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at
 Allah. Sebenarnya bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis 
pada umumnya, yaitu upaya memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna 
memenuhi kebutuhan konsumen. Namun aspek syariah inilah yang 
membedakannya dengan bisnis pada umumnya. Sehingga bisnis syariah selain
 mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah
 Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis syariah dan
 yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter 
dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Beberapa
 cirri itu antara lain:
1. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah 
adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan 
(makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan
 di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai 
ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem 
yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. 
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta 
(tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. 
Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya 
(tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya
 dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi,
 sehingga  memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat.
 Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang
 lebih tinggi lagi.
AKAD DALAM BISNIS SYARIAH
     Dalam setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat 
penting. Akad ibaratnya sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya 
terpisah antara yang sah dan tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian 
itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada 
bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut
 istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain 
dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
 Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian umum, 
yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi 
orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai 
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan 
sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang 
diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan
 sejenisnya, disebut sebagai akad.
Rukun-Rukun Akad/Perjanjian
     Akad memiliki tiga rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang 
saling terikat dengan akad, adanya sesuatu yang diikat dengan akad, 
serta pengucapan akad/perjanjian tersebut.[5]
1. Dua Pihak atau lebih yang Saling Terikat Dengan Akad
Dua orang atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang 
atau lebih yang secara langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah 
pihak dipersyaratkan harus memiliki kemam-puan yang cukup untuk 
mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut 
dianggap sah. 
Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal berikut:
Pertama: Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila
 pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan 
tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total,
 tidak sah melakukan perjanjian.
Kedua: Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan,
 kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh 
pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk 
menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila 
tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti 
khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak
 pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
2. Sesuatu yang Diikat Dengan Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang 
disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada 
beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai 
berikut:
- Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
- Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. (Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan) Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
- Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga, dan itu dilarang.
- Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
- Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan ha-rus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم
KERJASAMA (SYIRKAH) DALAM BISNIS SYARI’AH
     Bisnis syari’ah sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas 
kerjasama berbagai pihak dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama 
dalam bisnis syari’ah tidak hanya dibangun atas dasar keuntungan dan 
pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun juga dibangun atas dasar 
keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui implementasi 
prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah 
dalam bahasa Arab secara terminologis berasal dari kata syarika (fi’il 
mâdhi), yasyraku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan 
(mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya
 boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut 
Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dibaca syirkah 
lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara etimologis, syirkah berarti 
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat 
lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7] Adapun menurut 
makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, 
yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh 
keuntungan.
Hukum Dan Rukun Syirkah
     Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw 
berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau 
diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan 
cara bersyirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, 
sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari 
dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang 
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR. 
Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Rukun syirkah yang pokok ada 3, yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut
 juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus 
memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); 
(3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud ‘alayhi, yang mencakup 
pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).[8] Adapun syarat sah akad ada 2, 
yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan 
harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek 
akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak 
bersama di antara para syarik (mitra usaha).[9]
Macam-Macam Syirkah
     Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum
 syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: 
yaitu: (1) syirkah inan; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudharabah; (4) 
syirkah wujuh; dan (5) syirkah mufawadhah.[10] An-Nabhani berpendapat 
bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang 
memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama 
Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah 
inan, abdan, mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah 
hanya tiga macam, yaitu: syirkah inan, abdan, dan mudharabah. Menurut 
ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inan 
dan mudharabah.[11]
Syirkah Inan
     Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang 
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah
 ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh
 syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat 
menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. 
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan 
keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud); 
sedangkan barang (‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh 
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya 
(qimah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
 oleh masing-masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika, 
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung 
kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab 
Al-Jami’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian 
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas 
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”[12]
Syirkah ‘Abdan
    Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang 
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa 
konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja 
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik 
(seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, 
dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A 
dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari 
ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya 
akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 
40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, 
tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri 
dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa 
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh 
berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi 
hutan. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; 
nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra 
usaha (syarik). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil 
as-Sunnah.[13]
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar 
bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada 
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar 
tidak membawa apa pun.” Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau 
membenarkannya dengan taqrîr beliau. (HR. Abu Dawud dan al-Atsram).
Syirkah Mudharabah
     Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan 
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan 
pihak lain memberikan konstribusi modal (mal). Istilah mudharabah 
dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. 
Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal / rabb al-mal) memberikan 
modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola 
modal (‘amil/ mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko 
kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua 
pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, 
sementara pihak ketiga (sebut saja C) memberikan konstribusi kerja saja.
 Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan 
kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan 
konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini 
masih tergolong syirkah mudharabah.[14]
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil 
as-Sunnah (taqrir Nabi Saw) dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini, 
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola 
(mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. 
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan 
oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal 
dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. 
Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara 
seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang 
diwakilkan kepadany.[15] Namun demikian, pengelola turut menanggung 
kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena 
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.[16]
Syirkah Wujuh
     Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah 
wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
 seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua
 pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja 
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi 
modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. 
Syirkah semacam ini menurut An Nabhani termasuk dalam syirkah mudharabah
 sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya.
Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
 yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas 
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari
 masing-masing pihak. Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya 
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujuh, dengan cara membeli barang 
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, 
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya 
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga 
pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan 
kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki;
 sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha 
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan 
kesepakatan. Menurut An Nabhani Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya 
termasuk dalam syirkah ‘abdan.[17]
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk 
pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua 
termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri 
telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam.
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang 
dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah 
maliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, 
tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang 
menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka 
menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujuh 
yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang 
dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah maliyah) yang 
tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
Syirkah Mufawadhah
     Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang 
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, 
mudharabah, dan wujuh).[18] Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, 
menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah 
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis 
syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
 kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung 
oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inan), atau 
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau 
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
 dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua 
insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing 
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi
 modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan 
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu 
ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan 
konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, 
berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudharabah. Di sini A 
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C 
sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping 
konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. 
Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan 
pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C.
 Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua 
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
LEMBAGA BISNIS SYARIAH
     Secara umum lembaga bisnis syariah masih sebatas pada lembaga 
keuangan. Namun kini lembaga bisnis syariah sudah mencakup pada 
perhotelan dan usaha sector riil. Lembaga bisnis dapat dikategorikan 
dalam lembaga bisnis syariah apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memproduksi barang yang halal
2. Tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan syariat
3. Mendapatkan modal (kerjasama) dengan cara-cara yang sah menurut Islam.
4. Terdapat pengawas syariah pada perusahaan tersebut.
2. Tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan syariat
3. Mendapatkan modal (kerjasama) dengan cara-cara yang sah menurut Islam.
4. Terdapat pengawas syariah pada perusahaan tersebut.
Berdasarkan data dari Dewan Syariah Nasional, hingga 08 Mei 2008 
telah terdapat 10 lembaga pembiayaan syariah, 1 lembaga pegadaian 
syariah, 2 DPLK Syariah, 4 usaha syariah, 1 modal ventura syariah, dan 1
 lembaga penjamin syariah.[19]
- Pembiayaan Syariah
- PT Federal Internasional Finance
- PT Semesta Citra Dana
- PT Mandala Multifinance, Tbk
- PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk
- PT Fortuna Multi Finance
- PT Trust Finance Indonesia, Tbk
- PT Capitalinc Finance
- PT Al-Ijarah Indonesia Finance
- PT Trimamas Finance
- Pegadaian Syariah
- Perum Pegadaian Syariah
- DPLK Syariah
- DPLK Manulife Indonesia
- DPLK Muamalat
- Bisnis Syariah
- PT Sofyan Hotels
- PT Ahad-Net Internasional
- PT Usahajaya Ficooprasional
- PT Exer Indonesia
- Modal Ventura Syariah
- PT Bahana Artha Ventura
Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan 
Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan 
tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada 
pemegang saham perusahaan.
- Lembaga Penjaminan Syariah
- Perum Sarana Pengembangan Usaha
Jika dilihat dari data MUI di atas, terlihat masih sangat minim 
pengembangan usaha bisnis syariah kea rah sector riil. Lembaga-lembaga 
ekonomi syariah masih dimonopoli oleh lembaga keuangan syariah. Hal ini 
tidak terlepas dari dua factor; factor sejarah munculnya ekonomi syariah
 dan ketersediaan peraturan. Dari factor kesejarahan, memang sejak awal 
lahirnya ekonomi islam lebih diarahkan untuk memberikan alternative bagi
 sector lembaga pendanaan dan keuangan. Sehingga hal ini sangat 
berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya bagi sector usha lainnya 
dalam ekonomi islam seperti bisnis syariah.
Kedua karena factor belum tersedianya peraturan yang berkenaan dengan
 usaha bisnis syariah. Bahkan yang berkenaan dengan pegadaian hanya 
diatur melalui fatwa MUI. Kendala-kendala ini menyebabkan kurang 
bergairahnya sector usaha bisnis syariah jika dibandingkan dengan 
lembaga keuangan syari’ah seperti Bank. Yang bahkan untuk perbankan 
telah tersedia satu direktorat dalam BI tentang bank syariah dan 
perangkat undang-undang lainnya.
Demikian pembahasan dalam makalah ini, yang lebih penting dari ini semua adalah, sejauah mana kesiapan kita untuk membut semakin banyak lagi usaha bisnis syariah. Dan tidak hanya mampu merancang usaha bisnis syariah, namun juga mampu menjalankan usaha syariah khususnya pada sector riil yang memproduksi baranga dan jasa.
Daftar Pustaka
Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994.
Beekun, Rafik Isa, Islamic Business Ethics, Virginia: international institute of Islamic thought, 1997
M. Ridwan, Berbisnis dengan Etika Syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/ 2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
Laspriana, Bey, Bisnis Syari’ah antara Realita dan Idealita, http://wirausaha.com diakses tanggal 01 juni 2008.
Al-Mushlih, Abdullah & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha, http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html, diakses 15 mei 2008.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr, 1996.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah, 1990.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr, 1984.
Al-Khayyath, Abdul Aziz, Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, 1982.
Http://Www.Mui.Or.Id/Mui_In/Product_2/Lks_Lbs.Php?Id=69. diakses 1 juni 2008.
[1] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994, hal 44-45
[2] Rafik Isa Beekun, , Islamic business ethics, Virginia: international institute of Islamic thought, 1997.
[3] M. Ridwan, berbisnis dengan etika syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
[4] Bey Laspriana, bisnis syari’ah antara realita dan idealita, http://wirausaha.com diakses tanggal 01 juni 2008.
[5] Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha, http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html, diakses 15 mei 2008.
[6] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr, 1996. Hal 58.
[7] Taqiyuddin An-Nabhani,. An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah, 1990 Hal. 146
[8] Al Jaziri, 69.
[9] An Nabhani, 146.
[10] An Nabhani, 148.
[11] Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr, 1984. hal 479.
[12] An Nabhani, 151
[13] An Nabhani, 151.
[14] An Nabhani, 152.
[15] An Nabhani, 152.
[16] Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, hal 66.
[17] An Nabhani, 154.
[18] An Nabhani, 156.
[19] http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=69. diakses 1 juni 2008.
Sumber Artikel: Suud Fuadi, Ekonomi dan Bisnis Syariah, (http://suud83.wordpress.com/2008/06/14/bisnis-syariah/)
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar